Ketika Rindu Tak Mampu Berkata
Malam ini cerah, jutaan bintang
nampak mempesona hiasi langit dengan kilaunya. Teringat kisah bertahun lalu,
saat usiaku masih belasan tahun. Saat hati tak mampu berlabuh dengan pasti.
Saat cinta datang dan pergi sesuka hati. Saat aku dengan mudahnya jatuh dalam
bualan semu menyakitkan itu.
Jika aku merindukanmu, aku hanya
harus menatap bintang paling terang pertama yang kulihat, itu yang selalu kau
ucap. Membayangkan kita sedang menatap langit yang sama, merasakan rindu yang
sama. Kata-katamu bagai hipnotis yang tak mampu lekang oleh waktu. Bertahun
berlalu, tak ingin aku mengingatnya lagi. Tapi entah, setiap kali mata ini tak
sengaja menatap langit, semua bayang semu masalalu itu hadir tanpa ku undang.
Sama seperti malam ini.
Dulu terasa begitu indah, sampai
semua luka itu akhirnya tak terhapus hingga kini. Hanya sekedar bercerita,
mengagumi, dan akhirnya menyimpan rindu -jika tak layak kusebut cinta- lewat
media sosial dan telepon genggam. Dunia maya. Dunia yang menjebakku dengan rasa
yang hingga kini tak ku mengerti harus disebut apa.
Kelas 2 SMP, awal perkenalan kita.
Masihkah kau ingat saat itu? Lewat mIRC kita berkenalan, lalu saling bertukar
friendster -jejaring sosial yang populer kala itu- dan nomor handphone. Sekedar
mengisi waktu dan menghilangkan jemu, kita ber-sms-ria. Rindukah kamu akan masa
itu? Aku rindu, teramat rindu. Hingga rindu ini mengikis hatiku.
Aku yang tak pernah ingin orang lain
mengetahui tangisku, membiarkanmu mendengar isakanku. Isakan piluku yang
kehilangan teman-temanku. Isakan piluku yang rindu teman masakecilku. Isakan
piluku yang putus asa atas semua bully-an
yang kuterima. Isakan piluku yang tak mampu lagi menahan sepi seorang diri.
Tak taukah kamu, kamulah yang pertama
mendengar tangis manja penuh rasa putus asa ku? Lalu kamu, dengan semua
keramahan dalam nada bicaramu seakan merangkulku dalam hayalku, menenangkanku,
menepis semua gundahku. Aku tak pernah merasa setenang itu sebelumnya. Dengan
gamblang kuceritakan berbagai kisah piluku. Ku tumpahkan airmataku. Ku ungkapkan
asa di hatiku.
Hari terus berganti minggu. Minggu
berlalu menjadi bulan. Entah berapa janji kita ikrarkan, namun masih tak ada
ikatan pasti antara kita. Tak pernah pula ada perjumpaan nyata. Saat itu aku
belum mendengar skype, kamu pun kurasa begitu. Internet masih begitu mahal.
Bertukar foto masih dengan MMS atau unggahan melalui friendster.
Lalu tibalah masa-masa UN mu.
Perbedaan satu tahun antara kita membuatku belum mengerti sesaknya menghadapi
UN kala itu. Aku hanya sibuk mengiyakanmu tiap kali kamu mengabaikanku dengan
alasan sibuk. Disela perbedaan satu jam antara kita, kita masih mencoba saling
menyempatkan diri untuk saling membangunkan walau hanya lewat dering telepon.
Kadang aku sengaja tak tidur karena takut lupa waktu. Mendengar saut manjamu
kala bangun tidur, memudarkan rasa kantukku seketika, aku tak ingin telepon ini
ditutup. Aku berharap waktu mampu berjalan sedikit lebih lambat.
Sayangnya waktu terus berjalan tanpa
hiraukan doaku. Terasa begitu cepat. Kamu tiba-tiba saja sudah menduduki bangku
SMA dan harus menghadapi ospek. Kamu terus saja berkilah sibuk tiap kali aku
mencoba menghubungi. Kita mulai jarang bersenda gurau lagi. Aku mulai rindu.
Kala itu aku benar-benar tak mengerti bagaimana sibuknya ospek SMA. Sesulit
itukah ospek SMA? Selelah itukah menjalani ospek SMA hingga sekedar membalas
SMS pun tak mampu?
Kamu tau kan firasatku jarang salah?
Kamu tau bagaimana rasanya saat semua firasat buruk itu terbukti? Kamu punya
pacar baru. Aku tau pada akhirnya kita sepakat hanya menjadi sekedar kakak dan
adik. Tapi lupakah kamu akan semua janji yang kita ikrarkan? Akan tetap bersama
walau saling punya pacar? Akan tetap memilihku jika kelak pacarmu membenciku?
Nyatanya semua itu hanya bualan belaka.
Kamu dengan pasti menghilang dari
hari-hariku, dan aku memilih berjalan pelan meninggalkan semua kenangan itu.
Aku benci, aku sungguh membencimu dan kekasihmu kala itu. Aku benci mengakui
betapa aku merindukanmu. Aku benci menyadari betapa sakit hati ini tiap kali
bintang tunjukkan kilaunya. Aku benci ketika aku harus menangis karena rinduku
yang kerap memuncak untukmu. Aku benci karena entah sekuat apapun usahaku,
namamu tak pernah bisa ku lupa, bahkan hingga hari ini di usia 20ku.
SMS terakhir yang kuterima, saat kamu
menerima paketku. Paket berisi surat-surat rinduku untukmu. Sejak itu, tak ada
lagi kabar antara kita. Kadang aku masih menulis surat untukmu, tapi tentu tak
akan bisa ku kirimkan. Buku berisi alamat rumahmu sudah entah berada dimana.
Mungkin hilang tersapu banjir saat aku SMA. Surat-surat itu menumpuk terabaikan
lalu kulupakan. Ada beberapa tersimpan rapi dalam diary lamaku, adapula yang sengaja
kubuang, sisanya mungkin menjadi tumpukan sampah bersama buku bekas di rumahku.
Beberapa waktu yang lalu, aku sempat
mencari kabarmu. Kamu tau kan zaman sudah terlalu canggih saat ini? Aku
menemukan facebookmu. Kepo sebentar,
lalu hati ini kembali tersayat teringat cerita lama. Malu aku walau hanya
sekedar meng-add akunmu. Ku abaikan
akunmu, ku urungkan niat untuk menjalin pertemanan di facebook denganmu. Aku
masih ingat, saat itu foto profilmu sedang duduk gagah di atas ninja merahmu,
tampan seperti dalam ingatanku.
Beberapa bulan setelahnya, aku
mencoba mencari akun twittermu. Kutemukan hanya dalam sekejap. Namamu muncul di
baris paling pertama dengan foto berlatar pantai. Ah, aku rindu ceritamu akan
Pantai Amal yang dulu sering kau datangi semasa SMP. Rindu ini kembali
bergejolak. Jantungku berdebar kencang seakan ingin meloncat keluar. Aku
menangis lagi, entah bahagia melihatmu bahagia saat ini, atau rindu akan cerita
kita dulu. Wajahmu tak berubah, masih sama seperti terakhir aku mengingatmu.
Dilema kembali melanda hatiku.
Bolehkah aku sekedar menyapa? Tapi aku malu untuk mengungkit cerita lama. Aku
pun takut terluka jika nanti ternyata kamu tak mengingatku. Kulihat kamu sudah
punya pacar lagi, bukan pacarmu yang dulu menyudahi cerita kita. Kembali kuurungkan
niat, kututup akunmu.
Rinduku terus saja menyayat hati, tak
mampu terucap. Ku tulis kembali surat untukmu, kali ini lewat blog ku.
Kutumpahkan semua dilema dan airmata yang masih tersisa, berharap kamu mungkin
membacanya. Berharap kamu mungkin sadar kalau itu tentangmu. Airmata
menyiratkan semua luka, sama seperti hari ini saat aku menulis ini sambil
mengingat kisah kita dulu.
Hai, Bahtiar Rizki, jika mungkin kamu
membaca ini atau semua tulisanku tentangmu nanti, ku harap kamu akan mengerti.
Anggaplah semua tulisan itu surat tak terkirim dariku. Anggap setiap kata yang
tertulis adalah setiap rindu yang tak mampu ku utarakan. Rindu yang begitu
dalam dan tak berkesudahan hingga kini.
Tapi, Bahtiar Rizki, perlu kamu tau,
aku tak lagi marah. Aku pikir aku sudah cukup dewasa sekarang. Aku sudah
melewati banyak hari dimana aku mulai mengerti segalanya. Aku sudah melewati
hari dimana aku seakan berada di posisimu kala itu, hari dimana dengan enggan
harus melupakan janji karena menemukan seseorang yang lebih berarti, atau lebih
nyata bisa dibilang. Hari dimana kita menemukan seseorang yang mampu membelai
lembut pipi kita dengan tangannya, bukan dengan suara ramahnya. Hari dimana
kita menemukan seseorang yang mampu mendekap kita dalam peluknya, bukan dalam
saut manjanya. Hari dimana kita menemukan seseorang yang mampu kita tatap
matanya, bukan sekedar menatap layar. Aku mengerti pilihanmu, Bahtiar Rizki.
Dan bila kamu tak mampu mengingatku,
anggap saja namaku Rin Dessyrinata J
Tidak ada komentar: