Ketika Rindu Tak Mampu Berkata

Januari 17, 2015
Malam ini cerah, jutaan bintang nampak mempesona hiasi langit dengan kilaunya. Teringat kisah bertahun lalu, saat usiaku masih belasan tahun. Saat hati tak mampu berlabuh dengan pasti. Saat cinta datang dan pergi sesuka hati. Saat aku dengan mudahnya jatuh dalam bualan semu menyakitkan itu.

Jika aku merindukanmu, aku hanya harus menatap bintang paling terang pertama yang kulihat, itu yang selalu kau ucap. Membayangkan kita sedang menatap langit yang sama, merasakan rindu yang sama. Kata-katamu bagai hipnotis yang tak mampu lekang oleh waktu. Bertahun berlalu, tak ingin aku mengingatnya lagi. Tapi entah, setiap kali mata ini tak sengaja menatap langit, semua bayang semu masalalu itu hadir tanpa ku undang. Sama seperti malam ini.

Dulu terasa begitu indah, sampai semua luka itu akhirnya tak terhapus hingga kini. Hanya sekedar bercerita, mengagumi, dan akhirnya menyimpan rindu -jika tak layak kusebut cinta- lewat media sosial dan telepon genggam. Dunia maya. Dunia yang menjebakku dengan rasa yang hingga kini tak ku mengerti harus disebut apa.

Kelas 2 SMP, awal perkenalan kita. Masihkah kau ingat saat itu? Lewat mIRC kita berkenalan, lalu saling bertukar friendster -jejaring sosial yang populer kala itu- dan nomor handphone. Sekedar mengisi waktu dan menghilangkan jemu, kita ber-sms-ria. Rindukah kamu akan masa itu? Aku rindu, teramat rindu. Hingga rindu ini mengikis hatiku.

Aku yang tak pernah ingin orang lain mengetahui tangisku, membiarkanmu mendengar isakanku. Isakan piluku yang kehilangan teman-temanku. Isakan piluku yang rindu teman masakecilku. Isakan piluku yang putus asa atas semua bully-an yang kuterima. Isakan piluku yang tak mampu lagi menahan sepi seorang diri.

Tak taukah kamu, kamulah yang pertama mendengar tangis manja penuh rasa putus asa ku? Lalu kamu, dengan semua keramahan dalam nada bicaramu seakan merangkulku dalam hayalku, menenangkanku, menepis semua gundahku. Aku tak pernah merasa setenang itu sebelumnya. Dengan gamblang kuceritakan berbagai kisah piluku. Ku tumpahkan airmataku. Ku ungkapkan asa di hatiku.

Hari terus berganti minggu. Minggu berlalu menjadi bulan. Entah berapa janji kita ikrarkan, namun masih tak ada ikatan pasti antara kita. Tak pernah pula ada perjumpaan nyata. Saat itu aku belum mendengar skype, kamu pun kurasa begitu. Internet masih begitu mahal. Bertukar foto masih dengan MMS atau unggahan melalui friendster.

Lalu tibalah masa-masa UN mu. Perbedaan satu tahun antara kita membuatku belum mengerti sesaknya menghadapi UN kala itu. Aku hanya sibuk mengiyakanmu tiap kali kamu mengabaikanku dengan alasan sibuk. Disela perbedaan satu jam antara kita, kita masih mencoba saling menyempatkan diri untuk saling membangunkan walau hanya lewat dering telepon. Kadang aku sengaja tak tidur karena takut lupa waktu. Mendengar saut manjamu kala bangun tidur, memudarkan rasa kantukku seketika, aku tak ingin telepon ini ditutup. Aku berharap waktu mampu berjalan sedikit lebih lambat.

Sayangnya waktu terus berjalan tanpa hiraukan doaku. Terasa begitu cepat. Kamu tiba-tiba saja sudah menduduki bangku SMA dan harus menghadapi ospek. Kamu terus saja berkilah sibuk tiap kali aku mencoba menghubungi. Kita mulai jarang bersenda gurau lagi. Aku mulai rindu. Kala itu aku benar-benar tak mengerti bagaimana sibuknya ospek SMA. Sesulit itukah ospek SMA? Selelah itukah menjalani ospek SMA hingga sekedar membalas SMS pun tak mampu?

Kamu tau kan firasatku jarang salah? Kamu tau bagaimana rasanya saat semua firasat buruk itu terbukti? Kamu punya pacar baru. Aku tau pada akhirnya kita sepakat hanya menjadi sekedar kakak dan adik. Tapi lupakah kamu akan semua janji yang kita ikrarkan? Akan tetap bersama walau saling punya pacar? Akan tetap memilihku jika kelak pacarmu membenciku? Nyatanya semua itu hanya bualan belaka.

Kamu dengan pasti menghilang dari hari-hariku, dan aku memilih berjalan pelan meninggalkan semua kenangan itu. Aku benci, aku sungguh membencimu dan kekasihmu kala itu. Aku benci mengakui betapa aku merindukanmu. Aku benci menyadari betapa sakit hati ini tiap kali bintang tunjukkan kilaunya. Aku benci ketika aku harus menangis karena rinduku yang kerap memuncak untukmu. Aku benci karena entah sekuat apapun usahaku, namamu tak pernah bisa ku lupa, bahkan hingga hari ini di usia 20ku.

SMS terakhir yang kuterima, saat kamu menerima paketku. Paket berisi surat-surat rinduku untukmu. Sejak itu, tak ada lagi kabar antara kita. Kadang aku masih menulis surat untukmu, tapi tentu tak akan bisa ku kirimkan. Buku berisi alamat rumahmu sudah entah berada dimana. Mungkin hilang tersapu banjir saat aku SMA. Surat-surat itu menumpuk terabaikan lalu kulupakan. Ada beberapa tersimpan rapi dalam diary lamaku, adapula yang sengaja kubuang, sisanya mungkin menjadi tumpukan sampah bersama buku bekas di rumahku.

Beberapa waktu yang lalu, aku sempat mencari kabarmu. Kamu tau kan zaman sudah terlalu canggih saat ini? Aku menemukan facebookmu. Kepo sebentar, lalu hati ini kembali tersayat teringat cerita lama. Malu aku walau hanya sekedar meng-add akunmu. Ku abaikan akunmu, ku urungkan niat untuk menjalin pertemanan di facebook denganmu. Aku masih ingat, saat itu foto profilmu sedang duduk gagah di atas ninja merahmu, tampan seperti dalam ingatanku.

Beberapa bulan setelahnya, aku mencoba mencari akun twittermu. Kutemukan hanya dalam sekejap. Namamu muncul di baris paling pertama dengan foto berlatar pantai. Ah, aku rindu ceritamu akan Pantai Amal yang dulu sering kau datangi semasa SMP. Rindu ini kembali bergejolak. Jantungku berdebar kencang seakan ingin meloncat keluar. Aku menangis lagi, entah bahagia melihatmu bahagia saat ini, atau rindu akan cerita kita dulu. Wajahmu tak berubah, masih sama seperti terakhir aku mengingatmu.

Dilema kembali melanda hatiku. Bolehkah aku sekedar menyapa? Tapi aku malu untuk mengungkit cerita lama. Aku pun takut terluka jika nanti ternyata kamu tak mengingatku. Kulihat kamu sudah punya pacar lagi, bukan pacarmu yang dulu menyudahi cerita kita. Kembali kuurungkan niat, kututup akunmu.

Rinduku terus saja menyayat hati, tak mampu terucap. Ku tulis kembali surat untukmu, kali ini lewat blog ku. Kutumpahkan semua dilema dan airmata yang masih tersisa, berharap kamu mungkin membacanya. Berharap kamu mungkin sadar kalau itu tentangmu. Airmata menyiratkan semua luka, sama seperti hari ini saat aku menulis ini sambil mengingat kisah kita dulu.

Hai, Bahtiar Rizki, jika mungkin kamu membaca ini atau semua tulisanku tentangmu nanti, ku harap kamu akan mengerti. Anggaplah semua tulisan itu surat tak terkirim dariku. Anggap setiap kata yang tertulis adalah setiap rindu yang tak mampu ku utarakan. Rindu yang begitu dalam dan tak berkesudahan hingga kini.

Tapi, Bahtiar Rizki, perlu kamu tau, aku tak lagi marah. Aku pikir aku sudah cukup dewasa sekarang. Aku sudah melewati banyak hari dimana aku mulai mengerti segalanya. Aku sudah melewati hari dimana aku seakan berada di posisimu kala itu, hari dimana dengan enggan harus melupakan janji karena menemukan seseorang yang lebih berarti, atau lebih nyata bisa dibilang. Hari dimana kita menemukan seseorang yang mampu membelai lembut pipi kita dengan tangannya, bukan dengan suara ramahnya. Hari dimana kita menemukan seseorang yang mampu mendekap kita dalam peluknya, bukan dalam saut manjanya. Hari dimana kita menemukan seseorang yang mampu kita tatap matanya, bukan sekedar menatap layar. Aku mengerti pilihanmu, Bahtiar Rizki.


Dan bila kamu tak mampu mengingatku, anggap saja namaku Rin Dessyrinata J

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.