Tuhan yang Maha Esa dan Ketuhanan
Tuhan yang
Maha Esa dan Ketuhanan
Kepercayaan Manusia Tentang Tuhan
Sebagaimana
disebutkan dalam beberapa sumber bahwa agama ada yang bersifat primitif dan ada
pula yang dianut oleh masyarakat yang telah meninggalkan fase keprimitifan.
Dalam perjalanan sejarah
manusia, muncul berbagai macam kepercayaan terhadap Tuhan. Ada kepercayaan yang
disebut ‘dinamisme’ yang berarti
kepercayaan kepada kekuatan gaib yang misterius. Dalam paham ini ada
benda-benda tertentu yang mempunyai kekuatan gaib dan berpengaruh pada
kehidupan manusia sehari-hari. Kekuatan gaib itu ada yang bersifat baik dan ada
yang bersifat jahat. Benda yang mempunyai kekuatan gaib baik tentu akan
disenangi, dipakai dan dimakan agar orang yang memakai atau memakannya
senantiasa dipelihara dan dilindungi oleh kekuatan gaib yang terdapat di
dalamnya. Sebaliknya, benda yang mempunyai kekuatan gaib jahat tentunya akan
ditakuti dan dijauhi.
Ada pula
kepercayaan yang disebut dengan ‘animisme’
yang berarti kepercayaan bahwa tiap-tiap benda, baik yang bernyawa maupun yang
tidak bernyawa mempunyai ruh. Tujuan mempercayai ruh ini adalah untuk
mengadakan hubungan baik dengan ruh-ruh yang ditakuti dan dihormati itu dengan
senantiasa berusaha menyenangkan hati mereka dan menjauhi perbuatan yang dapat
membuat mereka marah.
Ada lagi
kepercayaan yang disebut dengan ‘politeisme’,
yakni kepercayaan kepada dewa-dewa. Dalam kepercayaan ini hal-hal yang
menimbulkan perasaan takjub dan dahsyat bukan lagi dikuasai oleh ruh-ruh,
tetapi oleh dewa-dewa. Kalau ruh dalam animisme
tidak diketahui tugas-tugasnya yang sebenarnya, dewa-dewa dalam politeisme telah mempunyai tugas-tugas
tertentu. Ada dewa yang bertugas memberikan cahaya dan panas ke permukaan bumi.
Dewa ini dalam agama mesir kuno disebut Ra, dalam agama India Kuno disebut
Surya, dan dalam agama Persia Kuno disebut Mithra. Ada pula dewa yang tugasnya
menurunkan hujan, yang diberi nama Indera dalam agama Mesir Kuno, dan Donnar
dalam agama Jerman Kuno. Selanjutnya ada pula dewa angin yang disebut Wata
dalam agama India Kuno, dan Wotan dalam agama Jerman Kuno.
Karen Amstrong
dalam bukunya Sejarah Tuhan menjelaskan adanya dalam diri manusia kekuatan
pencarian tuhan disetiap peradaban. Telah banyak kajian teori tentang asal usul
agama, dan didapati penciptaan tuhan telah lama dilakukan oleh manusia. Karen
Amstrong juga menutip gagasan adanya perasaan gaib yang menjadi dasar adanya
agama dari buku The Idea of The Holy karangan Rudolf Otto, ahli sejarah agama
berkebangsaan Jerman. Mulai sejak penciptaan pertama, dengan cara yang berbeda
beda sudah menginginkan dan meyakini adanya tuhan. Sejak 4000 SM oleh
sekelompok manusia yang dikenal dengan orang Sumeria yang menurut ahli sejarah
mempunyai perdaban terbesar pertama di dunia merupakan bukti sejarah akan hal
tersebut.
Berangkat dari
pemaparan kepercayaan terhadap Tuhan seperti tersebut di atas bisa disimpulkan
kepercayaan tentang Tuhan sudah ada sejak dahulu dan banyak, sebanyak agama dan
kepercayaan yang dianut manusia. Juga secara fitrah, manusia membutuhkan Tuhan.
Manusia ketika dengan sendirinya akan menciptakan Tuhan, maka dalam dinamisme, kekuatan gaib yang misterius
mungkin adalah Tuhan. Dalam animisme,
ruh adalah Tuhan. Dalam politeisme,
Indra, Vitra dan Varuna dalam agama Veda adalah Tuhan. Brahma, Wisnu dan Syiwa
dalam agama Hindu adalah Tuhan. Osiris, Isis dan Herus dalam agama Mesir Kuno
adalah Tuhan. Al-Latta, al-Uzza dan Manata dalam agama Arab Jahiliyah adalah
Tuhan. Dalam agama Kristen, Allah Tritunggal adalah Tuhan dan dalam agama Islam
Allah SWT adalah Tuhan.
Kesimpulannya, pembicaraan
tentang Tuhan merupakan pembicaraan yang sudah ramai di perbincangkan oleh
manusia sejak jaman dahulu kala, disetiap perdaban, disetiap agama. Manusia
secara naluri beragama menginginkan akan adanya tuhan yang disembah. Senantiasa
bertanya tentang apa sebenarnya rahasia dibalik adanya alam semesta ini. Apakah
alam semesta terjadi dengan sendirinya ataukah ada kekuatan lain yang mengatur
alam semesta ini. Bertitik-tolak dari keinginan manusia untuk mengetahui
keberadaan alam semesta ini, maka manusia mencoba mengkajinya sesuai dengan
kemampuan yang dimilikinya baik itu dengan menggunakan akal maupun indra.
Hasil dari
kajian-kajian yang dilakukan membuahkan hasil akan adanya Tuhan. Manusia sejak
jaman primitif sudah mempercayai adanya kekuatan lain di luar diri manusia yang
kemudian sampai dengan sesuatu zat maha segala-galanya yang disebut dengan
Tuhan. Meski dalam penamaanya bermacam-macam. Dari ketuhanan ini nanti para
agama-agama samawy maupun agama wad’i akan sampai kepada suatu kesimpulan yang
secara garis besar berakhir pada suatu penemuan tentang adanya Tauhid, yaitu
hanya ada tuhan yang satu, hanya ada zat yang satu yang maha diatas segala
sesuatu.
Agama Wad'i adalah agama dunia (natural religion) yang tidak bersumber pada wahyu Illahi melainkan hasil
ciptaan akal pikiran dan perilaku manusia, oleh karena disebut juga dengan agama budaya atau
agama bumi. Yang termasuk dalam agama wad’I adalah Hindu, Buddha, Taoisme, Kong Hu Cu
(Kung Fu Tse), Shinto
dan berbagai aliran keagamanan lainnya.
Agama Wad'i lahir dari filsafat
masyarakat,
baik yang berasal dari para pemimpin masyarakat
ataupun dari para pengajar agama yang bersangkutan. Agama ini berkembang pada masyarakat
yang memliki tingkat solidaritas mekanik atau pada masyarakat yang
masih memeliki pola berpikir yang tradisional.
Agama Samawy juga
disebut dengan agama Hanif. Dalam agama Hanif, tauhid merupakan inti ajaran
secara keseluruhan. Risalah kenabian sejak nabi Adam as. sampai ke Nabi
Muhammad saw., adalah risalah yang mengajarkan ke-esaan Allah SWT. Dalam islam
sebagai salah satu agama samawy, Muhammad saw. mempunyai beberapa keistimewan
dintaranya sebagai nabi terakhir penutup. Tidak ada lagi nabi setalah nabi
Muhammad saw. Juga keumuman risalah kenabiannya. Tidak terbatas untuk satu kaum
saja tapi untuk seluruh alam. Masuk juga didalamnya mahluk selain manusia. Dan
juga sebagai penyempurna risalah dan syariat sebelumnya. Sejak terangkatnya
menjadi rasul pada umur empat puluh tahun, hingga wafatnya di usia enam puluh
tiga tahun. Muhammad saw., mempunyai sisa umur dua puluh tiga tahun untuk
menyampaikan Islam atau yang sering disebut dengan masa kenabian. Tiga belas
tahun di habiskan di Mekkah khusus untuk menyampaikan Aqidah Islam sebelum
akhirnya Muhammad saw., hijrah ke Madinah. Menunjukkan betapa pentingnya ilmu
tauhid atau ilmu aqidah. Yaitu aqidah yang esensinya adalah tauhidullah,
peng-esaan Allah SWT. Hingga akhirnya islam berkembang menjadi sebuah peradaban
yang raksasa.
Jadi bisa
disimpulkan, esensi peradaban Islam adalah Islam itu sendiri dan esensi Islam
adalah Tauhid atau pengesaan terhadap Tuhan, tindakan yang menegaskan Allah
sebagai yang Esa, pencipta mutlak dan transenden, penguasa segala yang ada. Al
Quran sebagai kitab suci agama islam dan Hadits sebagai penjelas dari al-quran
banyak mengisyaratakan tentang urgensi tauhid. Diantaranya seperti apa yang
tertera dalam surah Al Ikhlas ayat 1-4 dan dalam surah Al Baqarah ayat 163.
“Katakanlah
(Muhammad) Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah tempat meminta segala sesuatu.
(Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu yang
setara dengan dia.” (QS Al Ikhlas:1-4).
“Dan Tuhanmu
adalah Tuhan yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan dia yang Maha Pemurah
lagi Maha Penyayang” (QS Al Baqarah 163).
Dalam hadits
disebutkan : ” Islam itu di bangun atas lima sesuatu: Menyaksikan bahwa tiada
tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah… (HR Bukhari Muslim)
Setelah wafatnya
Muhammad saw, umat islam tetap tidak pernah lepas dari penegakan kalimat
Syahadah. La Ilaha Illallah Muhammadun Rasulullah. Bahkan, ketika kemudian
timbul perbedaan faham antara sesama umat muslim, dalam kalimah tauhid inilah
orang Islam disatukan. Tauhid menjelaskan kepada umat islam bahwa mereka
mepunyai satu kesamaan yang universal. Tidak memandang mereka itu dari golongan
Mutakallimin yang selalu berdebat masalah aqidah, kalangan Filosof Islam yang
ingin menyatukan antara wahyu dan akal, Ahli Fiqhi yang berkecimpung dalam
hukum ibadah dan mu’amalat, Tarekat Sufi yang fokus dalam masalah suluk, ahlak
dan mujahadah, atau Partai Politik Islam yang sibuk dalam pemerintahan dan
memperjuangkan keadilan. Semuanya bisa bersatu pada suatu titik sentral yaitu
peng-esaan Allah SWT. Sama sama menyembah Tuhan yang satu.
Suluk secara harfiah berarti menempuh (jalan). Dalam kaitannya
dengan agama Islam
dan sufisme,
kata suluk berarti menempuh jalan (spiritual) untuk menuju
Allah. Menempuh jalan suluk (bersuluk) mencakup sebuah disiplin seumur
hidup dalam melaksanakan aturan-aturan eksoteris agama Islam (syariat)
sekaligus aturan-aturan esoteris agama Islam (hakikat). Ber-suluk juga mencakup hasrat untuk
Mengenal Diri, Memahami Esensi Kehidupan, Pencarian Tuhan, dan Pencarian
Kebenaran Sejati (ilahiyyah), melalui penempaan diri seumur hidup dengan
melakukan syariat lahiriah
sekaligus syariat batiniah demi
mencapai kesucian hati untuk mengenal diri dan Tuhan.Kata suluk berasal dari terminologi Al-Qur'an, Fasluki, dalam Surat An-Nahl [16] ayat 69, Fasluki subula rabbiki zululan, yang artinya Dan tempuhlah jalan Rabb-mu yang telah dimudahkan (bagimu). Seseorang yang menempuh jalan suluk disebut salik.
Keimanan dan Implikasi Tauhid
Iman
Kebanyakan
orang menyatakan bahwa kata iman berasal dari kata kerja amina-yu’manu-amanan
yang berarti percaya. Oleh karena itu, iman yang berarti percaya menunjuk sikap
batin yang terletak dalam hati. Akibatnya, orang yang percaya kepada Allah dan
selainnya seperti yang ada dalam rukun iman, walaupun dalam sikap kesehariannya
tidak mencerminkan ketaatan dan kepatuhan (taqwa) kepada yang telah
dipercayainya, masih disebut orang yang beriman. Hal itu disebabkan karena
adanya keyakinan mereka bahwa yang tahu tentang urusan hati manusia adalah
Allah dan dengan membaca dua kalimah syahadat telah menjadi Islam.
Dalam surah
al-Baqarah ayat 165 dikatakan bahwa orang yang beriman adalah orang yang
amat sangat cinta kepada Allah (asyaddu hubban lillah). Oleh karena itu beriman kepada Allah berarti amat
sangat rindu terhadap ajaran Allah, yaitu Al-Quran menurut Sunnah Rasul. Hal
itu karena apa yang dikehendaki Allah, menjadi kehendak orang yang beriman,
sehingga dapat menimbulkan tekad untuk mengorbankan segalanya dan kalau perlu
mempertaruhkan nyawa.
Dalam hadits
diriwayatkan Ibnu Majah Atthabrani, iman didefinisikan dengan keyakinan dalam
hati, diikrarkan dengan lisan, dan diwujudkan dengan amal perbuatan (Al-Immaanu
‘aqdun bil qalbi waigraarun billisaani wa’amalun bil arkaan). Dengan demikian,
iman merupakan kesatuan atau keselarasan antara hati, ucapan, dan laku
perbuatan, serta dapat juga dikatakan sebagai pandangan dan sikap hidup atau
gaya hidup.
Istilah iman
dalam al-Qur’an selalu dirangkaikan dengan kata lain yang memberikan
corak dan warna tentang sesuatu yang diimani, seperti dalam surat an-Nisa’:51
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bahagian dari Al
kitab? Mereka percaya kepada jibt dan thaghut, dan mengatakan kepada
orang-orang Kafir (musyrik Mekah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari
orang-orang yang beriman.
yang dikaitkan
dengan jibti (kebatinan/idealisme) dan thaghut(realita/naturalisme).
Sedangkan dalam surat al-Ankabut: 52
Katakanlah: "Cukuplah Allah menjadi saksi antaraku dan antaramu. Dia
mengetahui apa yang di langit dan di bumi. Dan orang-orang yang percaya kepada
yang batil dan ingkar kepada Allah, mereka itulah orang-orang yang merugi
dikaitkan
dengan kata bathil, yaitu walladziina aamanuu bil baathili. Bhatil berarti
tidak benar menurut Allah. Dalam surat lain iman dirangkaikan dengan kata kaafir atau
dengan kata Allah. Sementara dalam al-Baqarah: 4,
dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Quran) yang telah diturunkan
kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin
akan adanya (kehidupan) akhirat
iman dirangkaikan dengan kata ajaran yang diturunkan
Allah (yu’minuuna bimaa unzila ilaika wamaa unzila min
qablika).
Kata iman yang
tidak dirangkaikan dengan kata lain dalam al-Qur’an, mengandung arti positif.
Dengan demikian, kata iman yang tidak dikaitkan dengan kata Allah atau dengan ajarannya,
dikatakan sebagai iman haq. Sedangkan yang dikaitkan dengan
selainnya, disebut iman bathil.
Akidah Islam
dalam al-Qur’an disebut iman. Iman bukan hanya berarti percaya, melainkan
keyakinan yang mendorong seorang muslim untuk berbuat. Oleh karena itu lapangan
iman sangat luas, bahkan mencakup segala sesuatu yang dilakukan seorang muslim
yang disebut amal saleh.
Seseorang
dinyatakan iman bukan hanya percaya terhadap sesuatu, melainkan kepercayaan itu
mendorongnya untuk mengucapkan dan melakukan sesuatu sesuai dengan keyakinan.
Karena itu iman bukan hanya dipercayai atau diucapkan, melainkan menyatu secara
utuh dalam diri seseorang yang dibuktikan dalam perbuatannya.
Akidah Islam
adalah bagian yang paling pokok dalam agama Islam. Ia merupakan keyakinan yang
menjadi dasar dari segala sesuatu tindakan atau amal. Seseorang dipandang
sebagai muslim atau bukan muslim tergantung pada akidahnya. Apabila ia
berakidah Islam, maka segala sesuatu yang dilakukannya akan bernilai sebagai
amaliah seorang muslim atau amal saleh. Apabila tidak beraqidah, maka segala
amalnya tidak memiliki arti apa-apa, kendatipun perbuatan yang dilakukan
bernilai dalam pendengaran manusia.
Akidah Islam
atau iman mengikat seorang muslim, sehingga ia terikat dengan segala aturan
hukum yang datang dari Islam. Oleh karena itu menjadi seorang muslim berarti
meyakini dan melaksanakan segala sesuatu yang diatur dalam ajaran Islam.
Seluruh hidupnya didasarkan pada ajaran Islam.
Pada dasarnya, proses pembentukan iman diawali
dengan proses perkenalan, kemudian meningkat menjadi senang atau benci.
Mengenal ajaran Allah adalah langkah awal dalam mencapai iman kepada Allah.
Jika seseorang tidak mengenal ajaran Allah, maka orang tersebut tidak mungkin
beriman kepada Allah.
Seseorang yang
menghendaki anaknya menjadi mukmin kepada Allah, maka ajaran Allah harus
diperkenalkan sedini mungkin sesuai dengan kemampuan anak itu dari tingkat
verbal sampai tingkat pemahaman. Bagaimana seorang anak menjadi mukmin, jika
kepada mereka tidak diperkenalkan al-Qur’an.
Di samping
proses pengenalan, proses pembiasaan juga perlu diperhatikan, karena tanpa
pembiasaan, seseorang bisa saja semula benci berubah menjadi senang. Seorang
anak harus dibiasakan untuk melaksanakan apa yang diperintahkan Allah dan
menjauhi hal-hal yang dilarang-Nya, agar kelak setelah dewasa menjadi senang
dan terampil dalam melaksanakan ajaran-ajaran Allah.
Tauhid
Dari segi
bahasa ‘mentauhidkan sesuatu’ berarti ‘menjadikan sesuatu itu esa’. Dari segi
syar’i tauhid ialah ‘mengesakan Allah didalam perkara-perkara yang Allah
sendiri tetapkan melalui Nabi-Nabi Nya’.
Pensyariatan
Tauhid :
“Dan tidaklah
Kami ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada Ku”
Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertaqwa. (QS Al Baqarah 2 : 21)
Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertaqwa. (QS Al Baqarah 2 : 21)
“Dan sungguh
telah Kami utus kepada setiap umat seorang Rasul yang menyerukan ‘Sembahlah
Allah dan jauhilah thaghut (sesembahan selain Allah)’” (QS. An - Nahl 16 : 36)
Ringkasan :
Ringkasan :
1. Tauhid sebagai kewajiban terbesar
2. Tauhid merupakan materi dakwah pertama para Rasul.
3.
Tauhid merupakan terminal pertama
dan langkah terawal bagi mereka-mereka yang ingin menempuh jalan kepada Allah.
4. Apabila tauhid wujud dalam diri seseorang
secara sempurna, maka tauhid akan mencegah seseorang itu masuk neraka.
Pengucapan
kalimat tauhid dengan lisan belaka tidaklah cukup karena ia mempunyai
konsekuensi yang harus di tunaikan. Para ulama menegaskan bahwa mengesakan
Allah adalah dengan meninggalkan perbuatan syirik baik kecil maupun besar. Di
antara konsekuensi pengucapan kalimat tauhid itu adalah mengetahui kandungan
maknanya kemudian mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Allah
berfirman “Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada tuhan melainkan Allah.”
Kalimat Tauhid berarti Pengingkaran kepada segala sesuatu yg disembah selain
Allah SWT dan menetapkan bahwa yang berhak disembah hanyalah Allah semata tidak
kepada selain-Nya.
Aplikasi secara
sederhana dari kalimat tauhid “laa ilaaha illallah” adalah keyakinan
yang mutlak yang patut kita tanamkan dalam jiwa bahwa Allah Maha Esa dalam hal
mencipta dalam penyembahan tanpa ada sesuatu pun yang mencampuri dan tanpa ada
sesuatu pun yang sepadan dengan-Nya kemudian menerima dengan Ikhlas akan
apa-apa yang berasal dari-Nya baik berupa perintah yang mesti dilaksanakan
ataupun larangan yang mesti di tinggalkan semua itu akan mudah ketika hati
ikhlas mengakui bahwa Allah SWT itu Maha Esa.
Sesungguhnya
wajib bagi kita untuk mengenal Allah ( tauhid ) sebelum kita beribadah &
beramal karena suatu ibadah itu diterima jika Tauhid kita benar & tidak
tercampur dengan kesyirikan ( menyekutukannya dalam peribadatan ) , maka
tegaknya ibadah & amalan kita harus didasari terlebih dahulu dengan At
Tauhid sebagaimana akan kita jelaskan dibawah ini :
” Ketahuilah (
ya Muhammad ) sesungguhnya tidak ada sembahan yang haq kecuali Allah, &
mohonlah ampun bagi dosa-dosamu, dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki
dan perempuan. ( QS. Muhammad : 19 ).
Ketahuilah
semoga Allah merohmatimu- sesungguhnya Allah menegaskan &
mendahulukan serta mengutamakan untuk mengetahui dan berilmu
tentang At tauhid dari pada beribadah yaitu beristifghfar,
dikarenakan ” mengenal tauhid menunjukkan ilmu ‘usul ( dasar pokok &
pondasinya agama ), adapun beristighfar menunjukkan ilmu furu’ ( cabang dan
aplikasi dari ilmu usul tersebut ).
Dan tidak ada
perselisihan sedikitpun dikalangan para ulama salaf dan khalaf serta umat islam
seluruhnya bahwasanya : paling afdal & utamanya para nabi &
rasul adalah ke empat nabi tersebut ( Muhammad, Musa, Isa, & Ibrahim
) , tatkala Allah menetapkan & memerintahkan kepada empat rasul yang
mulia ini untuk ma’rifah (berilmu & mengetahui ) ilmu usul dan dasar
serta pondasi agama yaitu Tauhid sebelum ilmu furu’ ( sebagai aplikasi dari
ilmu usul ).
Penerapan Tauhid dalam kehidupan sehari-hari:
Contoh penerapan tauhid dalam kehidupan sehari hari
adalah dengan selalu mentaati perintah Nya dan menjauhi larangan Nya, seperti
beribadah, puasa, nadzar, berdoa hanya kepada Allah, ibadah apapun yg dilakukan
semata mata diniatkan hanya karna Allah, tidak berlebih-lebihan dalam mencintai
sesuatu. Tawakal dan bersabar dalam menghadapi musibah.
Ketakwaan dan Implikasinya dalam Kehidupan
Ketaqwaan Dalam Islam / takwa ,yaitu memelihara diri
dari siksaan Allah dengan mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala
larangan-Nya; tidak cukup diartikan dengan takut saja. Adapun arti lain dari
taqwa adalah:
1.
Melaksanakan segala perintah Allah.
2.
Menjauhkan diri dari segala yang dilarang Allah (haram).
3.
Ridho (menerima dan ikhlas) dengan hukum-hukum dan ketentuan Allah.
Taqwa berasal dari kata waqa-yaqi-wiqayah yang artinya
memelihara. “memelihara diri dalam menjalani hidup sesuai tuntunan/petunjuk
allah” Adapun dari asal bahasa arab quraish taqwa lebih dekat dengan kata waqa.
Waqa bermakna melindungi sesuatu, memelihara dan melindunginya dari berbagai
hal yang membahayakan dan merugikan. Itulah maka, ketika seekor kuda melakukan
langkahnya dengan sangat hati-hati, baik karena tidak adanya tapal kuda, atau
karena adanya luka-luka atau adanya rasa sakit atau tanahnya yang sangat kasar,
orang-orang Arab biasa mengatakan Waqal Farso Minul Hafa (Taj). Dari kata waqa
ini taqwa bisa di artikan berusaha memelihara dari ketentuan allah dan
melindungi diri dari dosa/larangan allah. bisa juga diartikan berhati hati
dalam menjalani hidup sesuai petunjuk allah. Ketaqwaan merupakan paspor jaminan
keselamatan untuk mengarungi kehidupan di dunia dan kehidupan di akhirat kelak.
Sehingga diperintah dalam surat Ali ‘Imran
ayat 102 dimana : “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan
dalam keadaan beragama Islam”
Dampak dari pengimplikasian orang-orang yang bertaqwa,
diantaranya adalah :
a.
Selalu ingat Allah dan bertaubat.
"Sesungguhnya orang-orang yang
bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah,
maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya." (QS. Al
A'raaf : 201)
b.
Takut kepada Rabb-nya meskipun tidak bisa melihat-Nya.
"(yaitu) orang-orang yang takut akan
(azab) Tuhan mereka, sedang mereka tidak melihat-Nya, dan mereka merasa takut
akan (tibanya) hari kiamat." (QS. Al Anbiyaa' : 49)
"Dan bagi orang yang takut akan saat
menghadap Tuhannya ada dua syurga" (QS. Ar Rahmaan :46)
c.
Taat selamanya hanya kepada Allah.
"Dan kepunyaan-Nya-lah segala apa
yang ada di langit dan di bumi, dan untuk-Nya-lah ketaatan itu selama-lamanya.
Maka mengapa kamu bertakwa kepada selain Allah?" (QS. An Nahl : 52)
d.
Beriman, mendirikan sholat, dan menafkahkan rezki di jalan Allah
"(yaitu) mereka yang beriman kepada
yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami
anugerahkan kepada mereka." (QS. Al Baqarah : 3)
"Bukanlah menghadapkan wajahmu ke
arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan
itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab,
nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak
yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan
orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan
shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia
berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan.
Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang
yang bertakwa" (QS. Al Baqarah : 177)
·
Beberapa ciri orang yang bertaqwa
a. beriman
dan meyakini tanpa keraguan bahwa Alqur’an sebagai pedoman hidupnya.
b. beriman
kepada perkara-perkara yang gaib.
c. mendirikan
sembahyang.
d. orang
yang selalu membelanjakan sebahagian dari rezeki yang diperolehnya.
e. orang
yang selalu mendermakan hartanya baik ketika senang maupun susah.
f.
orang yang bisa menahan amarahnya, dan mudah memberi maaf.
g. mensyukuri
nikmat Allah yang telah diterimanya, karena Allah mengasihani orang-orang yang
selalu berbuat kebaikan.
h. takut
melanggar perintah Allah.
oleh
karena itu, tempat mereka adalah surga sesuai dengan yang dijanjikan Allah, dan
tempatnya tidak jauh dari mereka.
· Identifikasi
beberapa ayat-ayat terkait tentang taqwa :
o Surat Al Baqarah ayat 197
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi,
barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka
tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa
mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah
mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah
takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.”
o Surat AL-Hajj 37
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak
dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat
mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu
mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira
kepada orang-orang yang berbuat baik.”
o Surat Al-Thalaq 2-5
-
QS Al-Thalaq (65) : 2
Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada
disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah
akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang
dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap
sesuatu.
-
QS. ath-Thalaq (65) : 3
Dan perempuan-perempuan yang putus asa dari haid di
antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka
iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang
tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah
sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barangsiapa yang bertakwa kepada
Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.
-
QS. ath-Thalaq (65) : 4
Itulah perintah Allah yang diturunkan-Nya kepada kamu;
dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menutupi
kesalahan-kesalahannya dan akan melipat gandakan pahala baginya.
-
QS. ath-Thalaq (65) : 5
Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu
bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka
untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah
ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga
mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu untukmu maka
berikanlah kepada mereka upahnya; dan musyawarahkanlah diantara kamu (segala
sesuatu), dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain
boleh menyusukan (anak itu) untuknya.
·
Identifikasi beberapa hadist terkait dengan taqwa :
- Dari
Abu Hurairah RA, ia berkata, telah ditanyakan kepada Rasulullah Saw, “Wahai
Rasulullah, siapakah orang yang paling mulia?” Rasulullah Saw menjawab : “Orang
yang paling bertakwa.”. Mereka (sahabat) berkata, “Bukan itu yang kami
tanyakan.” Rasulullah bersabda : “Kalau begitu (yang paling mulia) adalah Yusuf
bin nabi Allah (Ya’kub) bin nabi Allah (Ishak) bin Khalîlullah (kekasih Allah)
yakni Ibrahim.” Para sahabat berkata, “Bukan itu yang kami tanyakan.”
Rasulullah SAW balik bertanya : “Apakah tentang keturunan Arab yang baik yang
kalian tanyakan? Orang Arab yang terbaik di masa jahiliyah merupakan yang
terbaik dalam Islam jika mereka memahami syariat Islam.”(Muttafaq ‘Alaihi)
- Dari
Abu Tharîf ‘Adiy bin Hâtim Ath-Thâi, ia berkata, Aku pernah mendengar
Rasulullah SAW bersabda : “Siapa saja yang telah bersumpah (untuk berbuat sesuatu), kemudian dia melihat
bahwa apa yang disumpahkannya itu bisa membutanya lebih takwa maka hendaklah ia
melakukan apa yang dilihatnya dapat membuatnya lebih bertakwa.”(HR. Muslim)
- Dari
Abu Umâmah Shuday bin ‘Ajlân Al-Bâhiliy RA, ia berkata, Saya telah mendengar
Rasulullah SAW berkhutbah pada Haji Wada’ (perpisahan). Beliau bersabda :
“Bertakwalah kamu sekalian kepada Allah, tegakkanlah lima salat fardhu kalian,
berpuasalah pada bulan Ramadhan, tunaikanlah zakat harta kalian, dan taatilah
pemimpin-pemimpin kalian, niscaya kalian masuk surga.” (HR. Tirmidzi dalam Sunan-Nya
pada bagian akhir dari Bab Shalat. Dia juga berkata bahwa hadis ini /Hasan/
lagi /Shahih/)
- Dari
Abu Dzar ra., Rasulullah saw bersabda, “Saya wasiatkan kepadamu agar: (1)
senantiasa bertakwa kepada Allah Ta’ala, baik dalam keadaan sembunyi-sembunyi
maupun terang-terangan, (2) jika kamu telah melakukan kekhilapan (kesalahan)
maka bersegeralah melakukan kebaikan, (3) jangan meminta-minta dari orang
banyak, (4) jangan mengemban amanah (jika merasa tidak mampu menunaikannya),
dan (5) jangan menjadi qadhi (pemutus perkara) di antara dua orang yang
berselisih.” (HR. Ahmad).
·
Taqwa memiliki tiga tingkatan
1. Pertama : Ketika
seseorang melepaskan diri dari kekafiran dan mengada-adakan sekutu-sekutu bagi
Allah, dia disebut orang yang taqwa. Didalam pengertian ini semua orang beriman
tergolong taqwa meskipun mereka masih terlibat beberapa dosa.
2. Kedua : Jika
seseorang menjauhi segala hal yang tidak disukai Allah SWT dan RasulNya (SAW),
ia memiliki tingkat taqwa yang lebih tinggi.
3. Ketiga : orang yang
setiap saat selalu berupaya menggapai cinta Allah SWT, ia memiliki tingkat
taqwa yang lebih tinggi lagi.
Dari
Abu Hurairah juga, bahwa Rasulullah SAW memperingatkan, “Pada hari kiamat,
hak-hak seseorang pasti akan ditunaikan, sampai-sampai peradilan domba yang
tidak bertanduk yang mendapat yang mendapat kesusahan dari domba yang
bertanduk. Tirmidzi berkata, “Ini adalah hadits-hadits Hasan Sahih. (Lihat:
Jami’al-Tirmidzi, juz vii, halaman 98 hadits no: 1049 (Tuhfat al-Ahwa))
Inilah
yang menyebabkan para sahabat ketakutan dan menangis waktu ditunjuk menjadi
pemimpin/amir, karena terbayang betapa besarnya tanggung jawabnya, terbayang
betapa banyaknya orang-orang yang berhak atas dirinya. Seandainya dia tidak
bisa menunaikan hak-hak orang-orang.
·
Ganjaran Orang yang bertaqwa
Sebuah sifat yang baik, akan menghasil kan hasil yang
baik pula, begitupun bertaqwa. Maka allah akan memberikan diantaranya untuk
orang bertaqwa :
a. Diberi
jalan keluar serta rezeki dari tempat yang tak diduga-duga (QS. Ath Thalaaq
[65]:2-3)
b. Dimudahkan
urusannya (QS. Ath Thalaaq [65]:4)
c. Dilimpahkan
berkah dari langit dan bumi (QS. Al A’raaf [7]:96)
d. Mendapat
petunjuk dan pengajaran (QS. Al Baqarah [2]:2 dan QS.Al Maa-idah [5]:46)
e. Mendapat
Furqan (QS. Al Anfaal [8]:29)
f. Cepat
sadar akan kesalahan (QS. Al A’raaf [7]:201)
g. Tidak
terkena mudharat akibat tipu daya orang lain (QS. Ali ‘Imran [3]:120).
h. Mendapat
kemuliaan, nikmat dan karunia yang besar (QS. Ali ‘Imran [3]:147 dan QS. Al
Hujuraat [49]:13)
i.
Tidak ada kekhawatiran dan kesedihan (QS. Al A’raaf [7]:35)
j.
ALLAH bersamanya dan melindunginya (QS. Al Baqarah [2] :194 dan Qs. Al-jatsiyah 19)
k. Diselamatkan
dari api neraka (QS. Maryam [19]:71-72)
l.
Dijanjikan Surga (Qs. Al-hijr 45)
Allah menegaskan, bahwa barang
siapa yang selalu berupaya merealisir takwanya dalam segala aktivitas riil-konkrit
kesehariannya, maka Allah tidak hanya akan memberinya kebaikan di
dunia–kebaikan sosial, kebaikan profesi, dan kebaikan solusi bagi problema
dirinya, tetapi juga pahala yang sangat besar. Aktualisasi takwa di sisi lain
akan mendorong umat manusia, untuk tidak pernah berhenti melakukan perubahan
dan kompetisi. Bukan kompetisi untuk memunculkan yang munkar, tapi kompetisi
untuk memunculkan yang baik. Keragaman baik itu budaya, suku, ras, dan agama,
maupun juga ragam profesi dalam konteks takwa bukanlah hambatan untuk bekerja
maksimal merealisir amal saleh dan membawa amal jariyah. “Hai manusia,
sesungguhnyaa Kami mencip-takan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi
Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Tidak ada komentar: